Para Atlet Esports Dota 2 Kini Tidak Bisa Menemukan Penghasilan Tetap
Theeban “1437” Siva
Memasuki babak baru pertandingan esports Dota 2 dengan gaya online, mungkin banyak orang melihat hal ini sebagai suatu langkah baru menyaring para bintang-bintang esports di berbagai regional.
SALAH!
Yap, sayang sekali bahwa prasangka positif banyak pihak terbukti salah, mengingat banyak tim yang justru memutuskan hengkang dari ranah kompetitif Dota 2.
Korban terbaru adalah Reality Rift, tim asal Singapura yang sangat menggebrak standar tim baru dengan memasuki beberapa gelaran major. Alasan bubar? Karena Covid-19 dan minimnya perhatian Valve kepada ranah esports Dota 2 SEA.
Salah satu pemain Dota 2, mantan pemain TNC Predator dan Tigers, Theeban “1437” Siva memberikan pendapatnya dan ‘uneg-uneg’ di masa-masa kritis karena pandemi Covid-19 dari kacamata atlet esports.
Minim Gelaran DPC dan Perhatian Sang Pemilik Dota, Valve
Mungkin menemukan pemain adalah kesulitan tersendiri ketika mengatur roster. Namun, sebuah roster tak akan terbentuk bila tidak ada turnamen, bukan?
Contoh paling nyata adalah Indonesia, hanya BOOM Esports, Army Geniuses, dan beberapa tim yang setia di ranah kompetitif Dota 2. Bahkan, beberapa punggawa EVOS Esports dan Rex Regum Qeon memutuskan terjun ke gim MOBA di perangkat mobile.
1437 mengatkaan bahwa dia telah membicarakan topik ini kepada para pemain Dota 2 profesional dan menarik kesimpulan bahwa kebanyakan dari mereka tidak mampu mendapatkan penghasilan yang stabil mengingat turnamen banyak yang berhenti.
Mantan kapten Tigers juga mengatakan bahwa organisasi esports banyak yang merasa ‘rugi’ menginvestasikan diri di ranah kompetitif Dota 2 karena minimnya gelaran DPC dan kurangnya perhatian Valve.
Faktanya, memang hal ini menjadi penentu, apalagi turnamen menjadi pemasukan utama selain gaji dari organisasi esports. Tanpa adanya gelaran The International pun banyak tim yang memutuskan angkat kaki, setidaknya hingga DPC musim depan.
Cuek? Perbandingan Riot dengan LoL dan Valve dengan Dota 2
Dota 2 memiliki sistem esports yang dibilang unik. Bagaimana tidak, semua bergantung dari pihak ketiga dan perkembangan komunitas itu sendiri.
The International juga terus meningkat seiring waktu, tidak lupa beberapa turnamen Major dan Minor dengan hadiah yang sangat besar.
Banyak tim esports yang memutuskan terjun karena roda kompetitif yang terus bergulir, bahkan di beberapa level seperti amatir hingga profesional. Langkah ini menjadi perbandingan, apakah Riot Games memiliki sistem serupa? Atau, justru League of Legends terbukti lebih hidup dibandingkan Dota 2?
Sebagai perbandingan, Riot Esports memiliki beberapa sistem bagi para atlet esportsnya seperti gaji atau upah minimum dan rutin di setiap bulan bagi para pemain yang terdaftar. Contohnya, rata-rata pemain LCS 2020 memiliki gaji di angka 410,000 USD.
Bahkan, Riot Games juga membantu mengembangkan ranah esports di tim tier 2-3, baik dari segi promosi, sistem turnamen, dan finansial. Ada juga liga akademi untuk meningkatkan minat dan menghasilkan bintang baru.
Masih kurang? Ada beberapa liga bergengsi di masing-masing regional seperti LCS, LEC, dan tidak lupa LPL. Sehat sekali, itu kata yang tepat dari cara pengelolaan Riot Games terhadap ranah esports League of Legends.
Bagaiaman Dota 2? Masih belum ada kepastian dan simpang siur, meski uniknya prizepool untuk gelaran The International 2020 yang ditunda tetap menembus rekor. Haruskah Valve tetap tinggal diam? Atau justru mengadopsi gaya baru dalam mengelola ekosistem esportsnya menjadi langkah yang penting?
Discussion about this post